Kemajuan Pendidikan Indonesia Kalah dengan Malaysia, Ini Alasannya
Kemajuan Pendidikan Indonesia Kalah dengan Malaysia, Ini Alasannya . Para pakar dan pengamat pendidikan banyak yang mengatakan bahwa Malaysia numpang lewat kepada Indonesia di bidang pendidikan. Artinya, Malaysia yang dulu pendidikannya jauh tertinggal dengan Indonesia, kini lebih maju menyalip Indonesia. Padahal, majunya pendidikan di Malaysia dibandingkan dengan Indonesia adalah hasil belajar dari Indonesia. Sebelumnya Malaysia besar-besaranya mengirimkan para gurunya ke Indonesia untuk di-upgrade dan belajar di Indonesia. Para penatarnya adalah para dosen dan pakar pendidikan dari berbagai perguruan tinggi di Indonesia, termasuk di dalamnya adalah Hilmi, seorang dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung.
Fenomena majunya pendidikan di Malaysia dengan history seperti itu, mengundang banyak pertanyaan bagi sebagian orang. Fenomena itu hampir di setiap forum diklat, penataran dan sosialisasi bidang pendidikan di Indonesia, selalu diungkapkan oleh para penatar atau widyaiswara sebagai bahan motivasi bagi peserta.
Lalu apa yang menyebabkan Malaysia bekas murid Indonesia malah lebih maju?
Dalam dunia persilatan ada polemik bahwa seorang guru silat tidak akan menurunkan (mengajarkan) semua ilmunya kepada muridnya. Guru silat masih merahasiakan ilmu pamungkasnya. Ini mungkin karena sang guru tetap mewaspadai jangan-jangan suatu saat ada muridnya yang jahat ingin mengalahkan guru untuk kepentingan tertentu. Masuk akal. Namun hal tersebut sepertinya sedikit sekali korelasinya dengan masalah fenomena Malaysia-Indonesia terkait bidang pendidikan. Dan, Indonesia sebagai Negara yang mendapat kehormatan untuk memberikan ilmunya kepada tamu yang datang, tidak akan menyembunyikan ilmu pamungkasnya. Sebab baik di dunia silat maupun pendidikan, ilmu seorang murid akan menjelma menjadi sebuah kemanfaatan dan kenaikan derajat, manakala ilmu tersebut diamalkan sepenuhnya. Terlepas samapi mendapat ilmu pamungkas atau tidak, yang jelas apabila para murid tamat belajar, maka mereka meninggalkan guru. Guru yang ilmunya tinggi itu ditinggal sendiri tanpa perkembangan selanjutnya, terkadang hanya mengajari anak-anak tetangganya saja, itu pun hanya agar tidak mati sama sekali. Sementara muridnya yang mungkin nun jauh di sana, terus belajar dan bahkan mendirikan padepokan sendiri dengan memiliki murid lebih banyak dan mapan, serta praktiknya lebih serius.
Nah, ilustrasi di atas hanyalah rangakaian kalimat yang ngaco saja mungkin, karena tujuannya agar artikel ini agak panjang. Yang ingin saya katakana sebenarnya adalah pendapat Bapak HILMI mantan penatar para delegasi Malaysia saat itu. Pak Hilmi menjawab pertanyaan seorang peserta diklat yaitu saya sendiri, pada tahun 2004 saat acara diklat IPA SEQIP di LRC SD Negeri Ciruas 3 Kabupaten Serang Banten. Pertanyaannya adalah �Mengapa pendidikan di Malaysia lebih maju dibanding Indonesia padahal mereka dulu belajar dari kita?� Jawaban Pak Hilmi yang mantan penatar delegasi Malaysia itu sebagai berikut.
Pertama, karena Indonesia omdo (omong doang). Indonesia banyak memiliki pakar pendidikan dengan konsep/teori yang bagus. Akan tetapi pelaksanaannya tidak serius, atau bahkan sama sekali tidak dilaksanakan. Jadi, teori doang pelaksanaannya tidak ada. Sedangkan Malaysia, begitu kembali ke negaranya serta merta mereka melaksanakan semua teori yang diperoleh dari Indonesia dengan dukungan pemerintah sepenuhnya. Berarti Indonesia masih setengah hati dalam banyak aspek (red).
Kedua, sebagus apa pun program pusat untuk pendidikan, begitu turun ke bawah pelaksanaannya tidak maksimal. Hampir semua program dilaksanakan hanya menggugurkan kewajiban saja alias asal jalan dan kurang berkesinambungan.
Ketiga, pemerintah masih setengah hati untuk memberikan anggaran pendidikan semaksimal mungkin. Padahal para pemangku kepentingan semua tahu, bahwa pendidikan adalah asset bangsa yang paling besar yang akan menentukan bangsa ini. Mereka tahu bahwa suatu bangsa di mana pun, majunya bangsa tersebut karena majunya pendidikan.
Keempat, saya masih meragukan terhadap para birokrat pemangku kepentingan bidang pendidikan, apakah itu kadis, kabid dan lain sebagainya, apakah benar-benar memikirkan kemajuan pendidikan. Apabila mereka benar-benar memikirkan mutu pendidikan, maka di benaknya tidak akan ada pengguntingan anggaran demi saku sendiri. Akhirnya, setiap proyek selalu ditaksir target perolehannya. Apalagi jaman sekarang era otonomi daerah, membuat makin terbuka system pemerintahan dan birokrasi yang kolegial yang akan menciptakan lebih kuatnya lingkaran syetan. Bisa jadi, anggaran pendidikan di daerah-daerah selalu dikorupsi.
Itulah rekaman dari jawaban Pak Hilmi yang masih tersimpan dalam daya retensi saya sampai sekarang. Saya setuju pendapat Pak Hilmi. Namun tentunya itu adalah antara lain dari faktor-faktor yang ada.
Semoga bermanfaat.
0 komentar:
Posting Komentar