Mencari Akar Masalah Konflik Tentara-Polisi
Oleh : Didik Supriyanto
Mencari Akar Masalah Konflik Tentara-Polisi. Serbuan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering Ulu oleh anggota Batalyon Armed 15, pekan lalu, menambah daftar penjang kisah bentrok TNI-Polri. Tadinya, banyak orang mengira konflik terbuka tentara-polisi adalah bagian dari proses transisi demokrasi pasca-Orde Baru, sehingga setelah demokrasi mulai tertata, politik berjalan normal, konflik itu akan lenyap.
Memang sistem politik demokratis masih mencari bentuk, tapi stabilitas politik sebetulnya mantab sepanjang 10 tahun terakhir. Kecuali di beberapa daerah konflik, keamanan semakin terkendali. Namun toh konflik terbuka TNI-Polri tetap terjadi. Memasuki tahun ke 15 masa reformasi, konflik terus berlanjut, seakan sudah menjadi penyakit akut.
Memang sistem politik demokratis masih mencari bentuk, tapi stabilitas politik sebetulnya mantab sepanjang 10 tahun terakhir. Kecuali di beberapa daerah konflik, keamanan semakin terkendali. Namun toh konflik terbuka TNI-Polri tetap terjadi. Memasuki tahun ke 15 masa reformasi, konflik terus berlanjut, seakan sudah menjadi penyakit akut.
Bentrok terbuka tentara-polisi, terlihat jelas pertama kali terjadi di Sampit, Kalimantan Tengah. Alih-alih meredakan konflik etnis yang meluas di sana pada awal 2001, pasukan TNI dan anggota Polri justru saling baku tembak. Hal serupa juga kerap terjadi di wilayah konflik lainnya seperti Ambon dan Poso.
Rupanya, bukan ketegangan dan salah koordinasi yang menjadi pemicu bentrok tentara-polisi. Buktinya, di wilayah damai mereka juga berperang. Saling serang antara Brimob dan Yonif Lintas Udara 100 meletus di Binjai Sumut, sepanjang tiga hari pada akhir September 2002. Lalu terulang lagi di Atambua dan Gorontalo.
Menurut catatan Kontras, sepanjang 2005-2012, telah terjadi 26 kali bentrok pasukan TNI vs anggota Polri, yang menewaskan 11 orang dan 47 luka-luka. Korban material juga tak sedikit, mulai dari amunisi yang terbuang percuma, senjata hilang, motor dan mobil rusak, hingga pos dan markas terbakar.
Mengapa sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri dari TNI lewat Tap MPR No VI/MPR/2000 dan Tap MPR No VII/MPR/2000, sering terjadi konflik terbuka pasukan TNI vs anggota Polri?
Pimpinan TNI dan Polri selalu menunjuk faktor ketidaksiapan mental personal sebagai sebab terjadinya bentrok. Ketidaksiapan mental antara lain dilatari oleh semangat berlebihan dalam membela kawan, juga karena sifat-sifat superior personal tentara yang kini berani dihadapi oleh polisi.
Sementara para aktivis LSM, cenderung menunjuk faktor ekonomi sebagai sebab bentrokan. Dalam hal ini, konflik terbuka antara kedua kelompok bersenjata itu lebih dimotivasi oleh rebutan lahan bisnis ilegal, seperti judi, prostitusi dan penebangan kayu ilegal.
Penjelasan psikologis jelas tidak memuaskan, karena jika itu benar, tentu konflik antara TNI-Polri juga terjadi pada masa sebelumnya. Demikian juga, menunjuk rebutan lahan bisnis ilegal juga tidak bisa menjelaskan fenomena konflik yang beruntun sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri dari TNI. Keduanya baru bicara soal pemicu konflik.
Padahal konflik terbuka (yang ditandai dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan berserta pemicunya) hanyalah fenomena permukaan. Di balik berbagai peristiwa konflik terbuka tersebut pasti terdapat masalah-masalah yang sifatnya substantif yang melatarbelakangi dan mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan antarpasukan tersebut.
Penjelasan psikologis jelas tidak memuaskan, karena jika itu benar, tentu konflik antara TNI-Polri juga terjadi pada masa sebelumnya. Demikian juga, menunjuk rebutan lahan bisnis ilegal juga tidak bisa menjelaskan fenomena konflik yang beruntun sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri dari TNI. Keduanya baru bicara soal pemicu konflik.
Padahal konflik terbuka (yang ditandai dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan berserta pemicunya) hanyalah fenomena permukaan. Di balik berbagai peristiwa konflik terbuka tersebut pasti terdapat masalah-masalah yang sifatnya substantif yang melatarbelakangi dan mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan antarpasukan tersebut.
Saatnya para peneliti militer dan kepolisian, mendalami dan memahami masalah ini, lalu memetakan secara cermat, sehingga ditemukan jalan keluar yang komprehensif untuk mengatasinya. Bagaimanapun bentrok antaraparat negara bukan saja memalukan, tetapi juga merugikan rakyat banyak. Rakyat bayar pajak untuk menggaji mereka, bukan untuk adu kekuatan sesama, tetapi bela negara dan melindungi rakyat.
Sumber :meredeka.com
NB :
Saya sering mendengar dan kadang menyaksikan ulah-ulah egoistis aparat kita di daerah-daerah (di masyarakat). Jadi, benar apa yang diungkapkan oleh Didik Supriyanto di atas. Saya juga ingin menambahkan beberapa hal yang dapat memicu bentrok antaraparat (TNI-POLRI) sebagai berikut.
- Jika keluarga, teman, kolega dan lain-lain motornya ditangkap, TNI bisa diandalkan untuk mengurusnya dengan cara yang arogan, membentak-bentak, memaki, bahkan sampai menampar polisi tersebut. Padahal si pengendara jelas-jelas salah.
- Jika polisi bertugas mengamankan suatu hiburan, misalnya dangdut di tempat orang yang sedang resepsi pernikahan/khitanan, tidak akan bisa berkutik apabila hadir juga dari pihak TNI membeking Bandar Judi Koprok, sebab bisa dibayangkan apa yang terjadi, apabila polisi berani menutup lapak mereka. Bisa terjadi tampar dan tendangan melayang untuk polisi.
- Polisi dan Polisi juga sama terjadi kesenjangan power, lihat saja polisi umum dan dan polisi Brimob. Hampir tidak ada bedanya sikap Brimob dan TNI terhadap polisi umum.
- Lagi-lagi awalnya tentara lebih arogan, seolah baginya kebal hukum. Di sini, pada kasus tertentu hukum tidak berjalan apabila menimpa TNI karena polisi tidak berani untuk menanganinya akibat dari arogansi (rasa superior) dari TNI. Ketika ada polisi yang berani menanggung resiko, maka sudah pasti akan terjadi pertikaian. Polisi juga manusia ! Belum lagi kalau tentara menjadi pengawal ekspedisi, mobil barang dan lain sebagainya, polisi tidak boleh mengganggu. Tentara ikut campur yang bukan urusannya karena cari tambahan, tidak salah mungkin jika LSM menyebutkan karena kesejahteraan mereka masih kurang.
Jadi menurut saya, jika dalam kurun waktu sekian puluh tahun baru terjadi beberapa puluh kali kasus bentrok TNI-POLRI, itu sudah sangat baik. Berarti polisi dan tentara Indonesia 99% masih taat azas dan doktrinnya masing-masing, kalau tidak, mungkin sudah ribuan kali terjadi di mana-mana akibat dari tidak bagusnya sistem yang mengatur. Satu lagi yang menjadi catatan kita, semua peristiwa konflik serupa yang terjadi itu, adalah hasil akumulasi ketidaksenangan polisi terhadap arogansi TNI di lapangan selama ini.
0 komentar:
Posting Komentar